Minggu, 09 Januari 2011

Ketika VMJ Menyerang Aktivis (Part 3 of 3)

***
Setelah mengucapkan salam aku pun beranjak ke hotel untuk memenuhi janji dengan seorang pejabat pemerintah. Salim hebat, pikirku. Dia memang dua tahun lebih tua dariku. Lulus dari Pesantren dia sempat kerja setahun sebelum akhirnya masuk ke bangku kuliah. Dia paham betul apa itu yang dinamakan hijab, pergaulan dalam islam dan pernikahan. Dia sudah mempraktikannya sendiri. Soal menikah pun tak semerta dia putuskan sendiri melainkan dikonsultasikan ke orang tua dan murrobinya. Dukungan dari mereka lah yang membuat hatinya mantab. Saat ini dia sudah lepas dari tanggungan orang tuanya, meski pada akhirnya ada hal lain yang harus tertangguhkan untuk sesaat. Aku salut padanya. Aku sendiri masih sibuk dengan dakwah, kuliah dan tarbiah. Menikah? kapan-kapan saja lah!! Aku pikir Anya adalah pasangan yang serasi untuknya, tapi kalau bukan jodoh mau gimana lagi. Sesampainya di hotel jam 8 malam, ada SMS masuk. Ternyata dari Anya.

"Aslm. Akh, apakah Mabit pekan ini antum yang koordinir. Btw, sudah makan mlm?"

"Ya. Nanti saja dibicarakan. Saya sedang mengurusi sesuatu di Hotel. Makan? ga’ ingat tuh. Mau delivelry ke sini?"

"Di Hotel? Jadi ingat kisahnya Furqon di KCB. Hati-hati ya didatangi cewek cantik pembawa HIV AIDS. Wah, telat makan artinya antum mendzalimi diri sendiri."

"Makan telat dikit ga apa lah. Hah, beginilah kalau belum ada yang ngurus, Bu!"

"Walah2! Ana buka biro jodoh loh. Mau cari yang pertama, kedua. Mw yang pintar masak/tadarus/bahasa Inggris. Mw orang sunda/jawa/melayu/betawi. Silahkan pilih sesuka hati. Ketik reg<spasi>kriteria kirim ke 2009. Tarif gratis."

Tiba-tiba aku teringat komitmenku tadi. Astaqfirullah. Kok mulai lagi candaannya. Tampaknya aku benar-benar harus memastikan dugaan tenang Anya dan Agung. Masa calon istri orang SMS seperti ini pada seorang ikhwan, malam-malam begini pula. Ehmmm, nampaknya harus ada tindakan sedikit ekstrim. Sudah terlanjur basah bergurau lewat SMS, dan semoga ini yang terakhir

"Emmm, kl ana mau tipe seperti Akhwat yang sedang membaca SMS ini, boleh tidak? Mungkin untuk lebih konkritnya ana akan kirimkan proposalnya 3 hari lagi."

Tepat tiga hari setelah itu aku mengirimkan surat dan proposal bersekenario. Agak beresiko memang, sebab itu tidak dibuat secara serius. Aku agak was-was, bagaimana jikalau Anya memberikan respon positif. Tapi tenang! Feeling ku mengatakan aku akan mendapat jawaban yang aku inginkan.

Sudah lebih satu minggu, tapi tak ada surat balasan. Wah, gawat. Kalau dia benar-benar telah menerima seseorang di pelabuhan hatinya, maka tak kan butuh waktu sehari untuk menolakku. Bahkan ditolak di tempat pun jadi. Bisa-bisa dia memang masih kosong sehingga mempertimbangkan lamaranku. Aku mulai gemetar. Namun,positive feelingku mengatakan, mungkin dia perlu waktu untuk memilih kata-kata yang halus dalam surat balasannya agar tak membuat penerimanya tersakiti. Aku tetap tak sabar sampai akhirnya aku mencoba mencari jawaban itu langsung pada Agung.

“Akh, bagaimana dengan kelanjutan perasaan antum terhdap Anya?” tanyaku

“Memang kenapa akh. Ada angin apa tiba-tiba antum menanyakan itu?” pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Sungguh cara berkomunikasi yang kurang baik.

“Bagaimana kalau ana juga menaruh hati padanya?” aku memancing.

“Innalillah. Em, Ana tidak bisa membayangkan kesudahannya kalau dia tahu soal ini. Dilematis sekali. Ana tak ingin mengalah dan antum juga tentunya. Ana tak ingin ada yang tersakiti. Ana hanya menyarankan kita tinggalkan saja Anya. Ini lebih aman. Wanita di dunia ini kan yang soleha dan cantik tak hanya satu saja. Stok masih banyak”

“Akh, ana sudah terlajur berniat mengkhitbah Anya” Aku menatap Agung dengan tajam. Benar-benar serius. Agung langsung tegan.

“Tidak bisa! Tampaknya ana harus menceritakan yang sebenarnya. Afwan ana tidak sharing terlebih dahulu pada antum. Sebenarnya dua bulan yang lalu ana sudah mengkhitbah Anya terlebih dahulu. Alhamdulillah dia merespon positif dan kami berkomitmen untuk melanjutkan hingga ijab Kabul.”

Sesaat kemudian aku menerima SMS dari Anya.

"Afwan Ola, aku belum membuka pelabuhan itu untuk siapapun saat ini. Aku belum siap. Tapi kita tetap sahabat. Saudara seiman dengan cinta karena Allah."

Apa-apaan ini. Ingin rasanya aku menunjukkan SMS tersebut pada Agung. Namun akal sehatku masih bekerja. Lalu aku memeluk Agung sembari mengucapkan selamat padanya.

“Mabrukh akh, ana akan mendoakan antum agar secepatnya menuju hari ijab qobul.” Lalu aku meninggalkannya.

Sambil berjalan, aku berfikir keras. Kenapa menjadi begini. Kenapa Agung tak cerita pada ku dari awal tentang khitbah dan jawaban Anya, padahal dulu kepadaku lah dia sharing tentang perasaannya pada Anya. Masih jelas di benakku tausiah yang aku sampaikan padanya. Semoga dia tak sampai meyimpang dari nasihat. Anya!! Mungkin dia malu bercerita yang sebenarnya. Analisaku mangatakan kalau seorang akhwat ordinary telah menerima khitbah dari seorang ikhwan ordinary, maka ketika ada ihkwan lain yang memintanya, keharusannya adalah mengatakan dengan tegas yang sesungguhnya. Tapi kenapa begini jadinya. Ruwet. Aku hanya melihat yang terjadi di antara mereka seperti layaknya suatu ekspeimen saja, bergerak underground, dan kurang bertanggung jawab. Seakan tidak sabar menanti kesudahannya.

***
Kami sedang bersuka cita menyambut kelahiran putri Salim. Lalu aku teringat pada dua sejoli yang belum juga menyempurnakan separuh agamanya setelah hampir setahun mereka menyatakan komitmen bersama. Ta’arufan? Lama sekali. Kalau pacaran saja ada yang hanya berumur satu bulan meski ada yang sampai bertahun-tahun. Kalaupun lantas putus di tengah jalan. Mengapa Agung tak ada konfirmasi. Seakan mengblokir seorang akhwat yang dinanti banyak ikhwan, padahal dirinya sendiri tak ada kepastian untuk sesuatu yang harus dipastikan kesudahannya.

***
Hari ini aku akan bertolak ke Sydney setalah tiga bulan lalu mendapat surat pemberitahuan kalau aku sebagai salah satu fresh graduate yang lolos program ADS untuk melanjutkan S2 di Adelaide University. Hingga saat ini hubungan Anya dan Agung tak ada kabarnya. Aku hanya berharap keduanya baik-baik saja. Sebelum naik ke pesawat ada SMS masuk.

"If ten people care of you, I must belong to. If only one people care of you, that must be me. If no one people care of you, it means that I’m not in this world anymore.

Kemudian satu SMS lagi terkirim dari nomor yang sama

"Ketentuan jodoh itu, sekuat apapun tenaga, sebesar apapun badai dan sekeras apapun ikhtiar manusia, tetap tak akan bisa merubahnya. Ola, meski kamu tidak mau memberi tahu ke mana kamu akan pergi, aku tetap mendoakan semoga segala urusannya dimudahkan oleh Allah. -Anya-"

SEKIAN

Ini hanya sebuah ilustrasi. Terinspirasi dari cerita kawan-kawan. Jika terdapat kesamaan dalam nama dalam tokoh, inshaAllah hanya kebetulan saja. Di sana ada 3 substansi yang penting:

1. Bagaimana karakter Abdullah dan Anya apa yang terjadi antara keduanya. Abdullah bisa dibilang seorang new entry dalam lembaga dakwah kampus yang harus belajar banyak tentang apa itu yang dinamakan dengan hijab, dan urgensi kesungguhan untuk akselerasi dalam menjalani tarbiah. Di lingkungan kita tidak sedikit bukan tipe seperti Abdullah ini? Baik itu Ikhwan maupun Akhwat. Setidaknya itu yang dulu saya ketahui dan lihat ketika masih kulian di UPI, Bandung. Mereka tak cukup mendapat tarbiah melalui halaqoh saja, tapi perlu dukungan dari teman-teman yang sudah menjalani tarbiah dari SMA/Pesantren. Bagaimana dengan Anya? Kira-kira gimana ya. Apa yang terjadi antara keduanya (SMS dan candaan) cukup bisa membantu kawan-kawan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

2. Apa perbedaan antara niat dasar Salim dan Agung dalam mengkhitbah Anya.

Nah, ini dia! Pernah mendapat sahabat kawan-kawan kesemsem sama seseorang sehingga tumbur rasa yang belum seharusnya dipelihara dalam hati. Ada tipekal ikhwan yang ingin menikah, karena kebelet suka sama seorang akhwat. Dia berangkat dari alasan yang membahayakan diri sendiri. Ini barangkali terjadi pada kasus Agung. Ketidaksanggupannya menahan rasa membuatnya memaksakan diri untuk mengungkapkannya seakan khawatir kehilangan bidadari pujaannya. Padahal kalau sudah jodoh tak kan ke mana. Karena tanpa fakir panjang dan mempertimbankan sharia, konsekuensinya harus ditanggung sendiri. Mungkin menderita karena bendungan perasaan tadi tak cukup kuat, atau tak ada pelampiasan rasa cinta di hati karena t'lah saling menerima antara keduanya, atau rasa cemburu ketika si akhwat dekat dengan ikhwan lain atau sebaliknya. Lalu fitnah pun berpotensi menyebar.

Tapi ada tipe ikhwan yang berniat menikah karena motivasi selain akhwat, seperti yang terjadi pada Salim. Lalu akhwat adalah sebuah factor pendukung agar dia bisa menjawab masalah dibalik keinginannya untuk menikah.

Tak ada yang salah ataupun benar di antara keduanya. Semuanya baik jikalau semua dicover niat karena Allah. Yang ada hanya keharusan untuk berhati-hati, karena ini masalah hati.

3. Bagaimana kesudahan hubungan Anya dan Agung? juga Abdullah? Ada yang punya masukan kira-kira sebaiknya gimana ya. Saya pikir SMS terakhir adalah akhir dari klimaksnya. Jadi khusus untuk ini tak usah dilanjutkan saja yah.

"Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh syetan sebagaimana halnya dia (syeitan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari syurga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya"(QS. Al A'raaf:27).

Mohon maaf atas segala hilaf. Semoga bermanfaat.
Wallahualam bisawab

Tidak ada komentar :

Posting Komentar