Senin, 14 Maret 2011

Akankah Saya Jadi Sarjana Pengangguran?


Baru saja minggu lalu saya sempat merasakan kegalauan karena ternyata saya dan seorang sahabat sekaligus rekan satu penelitian saya tidak bisa mendapatkan gelar sarjana kami pada pekan ini. Beruntung kegalauan itu tak berlama-lama menggangu hati dan pikiran saya. Cukup satu hari saja. Bahkan tidak sampai satu hari, hanya beberapa menit lah. Itu semua berkat kepiawaian saya mengatur suasana hati. Prinsip saya adalah: saya akan menemukan kebahagian itu dengan cara sendiri.


Iya dong. Semuanya itu kan tergantung kita memposisikan hati dan pikiran kita. Kebahagian itu bisa jadi bencana bagi orang-orang yang dengki. Sebaliknya bencana itu juga bisa jadi sumber kebahagiaan bagi orang-orang yang ikhlas. Pengalaman melewati hampir seperempat belahan bumi membuat saya menjadi orang yang pengen memposisikan segala sesuatu sebagai sumber kebahagiaan dan menyederhanakan permasalahan hidup.

Tapi ternyata permasalahan hidup memang tidak sesederhana itu Choi! Khususnya bagi para lulusan perguruan tinggi di negeri ini. Kenyataan  bahwa setiap satu sarjana dicetak maka hampir bisa dipastikan satu koleksi pengangguran bertambah di Indonesia.

“Bro, kerja di mana lo sekarang?” sms dari salah seorang kawan yang baru saja mendapatkan ijazah S1nya.
“Jobless. Lo gimana kerjaan? ”
“Gw lagi nganggur nih. Kalao ada proyek-proyek bagi-bagi yak”
“InshaAllah Gan. Kalo rejeki kagak ke mana J”

Saya kadang bingung. Tidak sedikit teman yang secara blak-blakan minta informasi kerja atau link kerjaan sama saya. Penah juga dalam satu hari saya menerima dua SMS dari teman yang nyari kerjaan. Atau adek kelas yang berbondong-bondong dateng buat nanya lowongan parttime. Atau yang nyamperin saya sambil bilang “Win ada orang dalem di perusahaan buat kerja ga?”. Wah mas mbak, dikira saya jobstreet berjalan apa. Haha. Tapi berenan loh ada salah seorang sahabat pernah bilang kalau saya ini jobstreet berjalan atau scholarship info berjalan. Maksudnya opo toh? Saya juga kagak ngarti dah.

Sebenarnya saya hanya ingin bercerita tentang kegalauan-kegalauan saya. Kegalauan pertama adalah tentang teman-teman yang telah lebih dahulu menjadi sarjana. Kegalauan kedua adalah soal pertanyaan para dosen, kaprodi, kabiro kemahasiswaan, adik-adik kelas dan sekian banyak orang. Pertanyaan apakah itu?  Ini bukan pertanyaan tentang sidang skripsi saya yang tak kunjung-kunjung tiba, melainkan tentang rencana saya setelah jadi sarjana. Wah, wah, sidang skripsi aja masih ga jelas buat saya apalagi jadi sarjana. Kegalauan ketiga adalah saya bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang menjadi sebab kerisauan saya nomor dua. Tuluuuung!

Koq saya bisa galau karena teman-teman saya yang sudah mendapat gelar sarjana. Galau bukan karena saya iri hati melainkan simpati. Bagaimana tidak. Sampai saat ini tidak sedikit dari mereka yang menganggur. Atau ada yang sudah kerja tapi tak sesuai dengan passion yang dulu pernah diucapkan saat menjadi mahasiswa. Begini nih, ga sedikit kan rekan-rekan aktivis yang pas jadi mahasiswa ngaku-ngakunya punya idealisme, demo rektor, demo anggota dewan (saya mah ikut demo masak Farah Quin aja deh kalo ada). Sayangnya kebanyakan dari kita kagak pernah mendemo diri sendiri. Maka lihatlah pas udah lulus, terdesak dengan kebutuhan kerja yang tak jarang menindas idealisme. Hhh, manyun deh lo!

Generasi muda Indonesia saat ini punya jalan hidup rata-rata yang seolah sudah bisa ditebak. Mereka harus besusah payan menghadapi Ujian Nasional yang tetap dipertahankan meski menuai banyak protes. Tidak lulus, ya paket C. Lulus, harus bersusah payah ikut SNMPTN untuk masuk perguruan tinggi idaman. Ga lulus SNMPTN, lari ke PTS. Kuliah dimulai. Kenyataannya, kuliah itu masuknya susah, keluarnya apa lagi. Sudah keluar masih harus berhadapan dengan tantangan selanjutnya. Mengemban gelar “Sarjana Pengangguran”. Pontang panting ke sana ke mari untuk ikut job fair, submit lamaran kerja, menghadiri tes ini itu, dan interview. Lalu ditolak. Ironis.

Salah seorang sahabat saya, lulusan perguruan tinggi beken dan prestasinya keren mengakui kalau saat ini dia pengangguran. Sahabat saya ini mirip Om-om sehingga saya panggil saja Om. Saya sok tahu menebak-nebak kalau Om merasa amat tidak keren saat ini. Bayangin dong dia sudah menaklukan negeri Paman Sam, Eropa dan Asia Tenggara.  Dia punya prestasi sehingga berjaya di negeri orang, tapi tiba-tiba menjadi sarjana pengangguran di negeri sendiri.  Galau kan!

Hal yang sama dulu pernah dirasakan oleh sahabat saya lainnya, sebutlah Nyonyah, yang lulus 4 tahun dengan IPK yang bagusss. Gelar “Sarjana Pengangguran” itu dipikulnya lumayan lama sampai satu tahun.  Kenapa demikian? Sebenarnya Nyonyah punya idealisme yang patut saya acungi jempol. Dia nganggur bukan karena dia ga diterima di perusahaan, melainkan karena pilihan untuk mengejar impiannya menjadi peneliti. Itu saya ketahui melalui obrolan dalam sms:

“Nyah, lo ga minat kerja di Bank atau jadi marketing keq gitu? Gajinya kan nendang bok”.

 “ENGGAK Win, gua ga nyari gaji, tapi jati diri. Hati gua adalah peneliti” jawabanya membuat saya speechless seketika.

Mempertahankan idealisme itu memang tak mutlak tapi memperjuangkan impian atau passion itu memang harus. Maka dia berjuang untuk mewujudkannya. Dia melibas semua cemooh yang datang mungkin dari teman arisan mamanya atau tetangganya. Akhirnya setelah hampir setahun menganggur, dan sempat kerja sebulan di perusahaan, kini gerbang menuju impiannya telah terbuka. Nyonyah sekarang sedang bekerja di salah satu pusat penelitian linkungan PBB.

Nah saya yakin Om pun sekarang sama dengan Nyonyah. Om itu meski pengangguran, tapi tetap keren di mata saya. Tak ada yang sanggup melunturkan aura kerennya itu. Mau jadi pengangguran, perut buncit, bengkok atau lurus atau apa keq, dia tetap keren. Dia sedang mengejar passionnya. Dia sedang diberi Allah untuk menginvestasikan waktu luangnya agar mempersiapkan diri lebih baik menuju passionnya itu.

Begitulah harusnya sarjana di negeri ini. Lulus kuliah harus punya target dan career expectation agar tidak terbawa arus tanpa arah. Tidak asal masuk kantor dan menyingkirkan aspek keilmuan yang di dapat ketika kuliah. Jika setiap generasi muda memiliki passion karir sesuai dengan keilmuannya maka akan menstimulus masyarakat yang berfikir ilmiah untuk memajukan pembangunan Indonesia.

Dalam hati, apa kabar ya teman-teman lainnya yang KUPU-KUPU (Kuliah pulang 2X) atau yang “aktivis” ber IPKnya jelek (kadang kan ada tuh mahasiswa mengkambing hitamkan ke-sok-sibukannya di organisasi sebagai penyebab IPK jelek).

Lalu saya risau, kenapa sih orang-orang ini, mulai dari pejabat kampus, dosen, dan adik-adik kelas begitu terobsesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang orang tua saya sendiri saja tak pernah menanyakan. Ayah saya sampai detik ini tidak pernah bertanya: “mau ke mana habis lulus kuliah?” atau “mau kerja di mana nanti?”. Satu-satunya pesan Ayah adalah: jangan buru-buru pulang kampong Karena tergiur gaji buta CPNS di sini (aduh ayah saya sekali-kalinya kalau ngomong bisa memancing huru hara, tapi take easy aja lah).

Saya pun kemudian bingung menjawabnya. Sebenarnya saya sudah punya jawaban. Tapi saya ini adalah tipe yang tidak mau berkoar-koar dulu sebelum saya bertindak. Saya lebih baik memeluk keinginan dan impian saya lekat-lekat dengan sesekali membukanya untuk orang-orang terdekat saya agar menjadi inspirasi buat mereka. Maka setiap ditanya dengan pertanyaan yang membingungkan itu, saya hanya menjawab: kalo ga kerja, ya sekolah lagi, biar segera mulai usaha kecil-kecilan, tergantung rejekinya. Singkat, padat, akurat. Tapi ternyata tidak selesai sampai di situ. Ada yang punya bakat terpendam jadi wartawan infotainment. Mereka ini yang tidak puas dengan jawaban saya, kembali melayangkan pertanyaan: kalo kerja nanti di mana? Kalo mw sekolah rencanaya ke mana? Emang mau buka usaha apa? Saya yang tidak mau repot kembali mengulangi frase terakhir pada jawaban sebelumnya: ya tergantung rejeki.

----
More stories! Please visit http://journeyou.blogspot.com


Amazing Thailand (Lessons from Neighbors Part 2 of 5)

Entah ada atau tidak dalam Al Quran dan Al Hadits, tapi setidaknya empirisku telah membuktikan kata-kata powerful Andrea Hirata dalam Maryamah Kaprov, bahwa
NASIB akan berpihak pada para PEMBERANI.

Keberanian itu  pun telah  menjadi salah satu alasan sehingga saya berkelana lewat udara melalui hampir seperempat belahan dunia, yakni Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah dan Eropa Timur. Keberanian itu juga mengantarkanku pada banyak cerita menakjubkan seperti cerita  cinta pertama di Rusia. Maka pada perjalanan kali ini pun saya berharap akan menemukan cerita cinta lainnya di negeri Gajah dan Singa (Meski tak cerita cinta juga tak apa, denk).

Lama perjalanan Singapura –Bangkok sama dengan Jakarta-Singapur yang menempuh waktu lebih kurang 2  jam. Di pesawat menuju Bangkok saya berkenalan dengan seorang esmud (eksekutif muda) berkewarganegaraan Singapura dan kerja di Bangkok. Dia bercerita bahwa di Singapura begitu banyak tenaga kerja ahli dari luar negeri. Tak sedikit juga orang-orang Singapura yang memiliki mobilitas tinggi di ASEAN untuk alasan pekerjaan. CAFTA  membuat kerja di luar negeri menjadi hal yang tak sulit bagi penduduk Asia Tenggara.

CAFTA sebenarnya adalah peluang besar bagi para SDM unggulan dari negeri kembang kempis seperti Indonesia. Orang Indonesia memiliki peluang untuk bekerja di Negara keren seperti Singapura. Namun, CAFTA juga bisa jadi ancaman, karena banyak SDM lokal yang tak siap bersaing secara kompetensi. Lahan-lahan pekerjaan elit dalam negeri bisa-bisa disabet dengan mudah oleh orang-orang dari negeri tetangga.

Kalau kebanyakan teman-teman satu daerahku memiliki passion pulang kampong untuk berbondong-bondong daftar tes CPNS, barangkali saya agak sedikit berbeda. Hanya sedikit bereksperimen dengan  “keberanian” saya berhayal untuk menyicipi pengalaman kerja di salah satu negara tetangga. Jika kau seorang pemberani tak akan mungkin beranggapan kalau ini adalah hal yang berlebihan apalagi alay. Ini bukan soal idealisme yang alay, tapi soal occasion. Peluang CAFTA itu telah ada di depan mata. Sayang kalau hanya orang di negeri tetangga yang kebagian manfaatnya. Sadar atau tidak semua masyarakat ASEAN memiliki hak yang sama akan kesempatan itu, termasuk orang Indonesia yaitu saya dan kau.

Untuk ketiga kalinya saya menginjakkan kaki di Suvarnabhumi Airport. Kesan pertama Amazing Thailand, selogan periwisata negeri gajah ini, langsung tampak setibanya di Terminal kedatangan. Sepanjang koridor menuju imigrasi terdapat lukisan-lukisan budaya Thailand. Ada pula miniatur taman yang lengkap dengan aksesorisnya seperti payung, bunga-bunga dan benda-benda tradisional. Interior yang lekat dengan kesan budaya dan disain arsitektur green building akan mencuri hati siapa saja yang tiba di sana. Kesan seperti ini, sungguh belum bisa ditemukan di Bandara Soekarno-Hatta.

Aksi pertama yang tak pernah terlewat bagi mafia conference yang berpergian ke luar negeri adalah, mengambil gambar di setiap tempat dan peristiwa penting yang mereka singgahi (yang ga penting kadang-jadang juga di ambil koq). Jadi sudah bisa ditebak Penampakan Alai  No.1 yang saya dan Nor lakukan setiba di Airport. Tak peduli bahwa orang-orang memperhatikan kami sambil melambaikan senyuman yang merepresentasikan dua kata pada kami: dasar kampungan. Ckckck!

Aksi kedua adalah mencari tap air minum. Budget yang pas-pasan membuat setiap pengeluaran dipertimbangkan baik-baik. Membeli air minum di pesawat tidak lebih baik daripada membiarkan kerongkongan kering selama beberapa jam. Kami mengeluarkan botol kosong yang sengaja disiapkan jauh-jauh dari Indonesia dan mengisinya penuh-penuh untuk  menghilanngkan rasa haus sekaligus persiapan di jalan menuju venue.

Aksi ketiga adalah menuju toilet. Pagi itu kami akan langsung menuju Rajmanggala University. Hanya cukup dengan cuci muka, gosok gigi dan sisiran, saya yakin tak kan ada orang yang bertanya pada kami: sudah mandi, belom?
*Wakakakak.

“Bib…bib…bib..”  sms masuk.
“Win, aku di Musholla ya. Kamu samperin aku” sms dari anak cerdas bangsa yang akan saya temui berikutnya. Tak hanya cerdas tapi juga berani dan nekad. Lebih tepatnya sih dia bukan anak cerdas tapi bocah nekad.

Aku dan Nor bergegas menuju imigrasi dan keluar. Tak seperti biasanya, kali ini kami tak perlu menuju tempat pengambilan bagasi. Prinsip berhemat itu, membuat kami memutuskan beperjalanan tanpa bagasi, cukup memanfaatkan 10 kg batas maksimum di kabin. Dengan begini, kami berhemat sekitar USD 15/orang. Lumayan kan buat beli souvenir oleh-oleh.

Saya temui Endy Prahyuono di Praying Room. Yang paling saya sukai, Bung Endy punya cara (lagi-lagi) berani dan unik untuk menginterpretasikan nasionalismenya. Tak terkecuali kali ini. Dia ke Bangkok mengenakan Jaket Timnas Garuda. Oh, Garuda di Dadaku banget.  Rambut gondrong, kumis tipis dan mata sipitnya itu, hanya perlu sedikit sentuhan whitening pada kulit, tambahan pedang dan seragam perang, maka dia bisa langsung disulap menjadi pasukan balai tentara Kubilai Khan. Satu paket nasionalisme berani dan unik ala Bung Endy ini telah saya identifikasi sebagai Penampakan Alay No. 2.

Bung Endy, mahasiswa ITS ini bercita-cita menjadi Presiden RI. Hal itu ku ketahui ketika kami mengikuti Summer School of International Youth Forum Seliger 2010, Youth Camp terbesar di dunia, yang juga diselenggarakan di Negeri terbesar di dunia. Dalam kegiatan tahunan Pemerintah Federasi Rusia tersebut, kami mendapat fasilitas dari Ministry of Foreign Affairs-nya berupa tuition fee, akomodasi, transportasi lokal dan visa secara cuma-cuma. Sedangkan  Dirjen Dikti menyediakan dana untuk Airfare. Setelah acara selesai kami pun masih extend di Moskwa selama 2-3 hari dengan fasilitas penginapan dan makan gratis di Flat KBRI. Maknyus kan.

O ya, di tambah lagi fasilitas dadakan berupa free tour guide mahasiswa asal Indonesia bernama Burhan yang menghantar kami ke salah satu destinasi paling popular di dunia, Red Square Moscow (Kremlin, St. Vatsil,etc), beserta gedung pemerintahan dan beberapa bangunan bersejarah dengan arsitektur Eropa kuno dan modern. Sungguh, Seliger dan Moskwa adalah visualisasi dunia mimpi masa kecil yang jadi kenyataan.

Menindaklanjuti cita-cita Bung Endy, maka para delegasi indonesia di Seliger membuat kabinet kecil-kecilan. Bung Endy resmi dinobatkan sebagai Presiden RI dan dipilih menteri-menteri lainya yang orangnya mereka-mereka juga. Saya kebagian jatah sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ga banget yak.

Negeri ini memiliki presiden-presiden dengan catatan sejarah lucu. Ada yang diruntuhkan oleh mahasiswa, ada yang memakai celana pendek di istana negara, dan ada juga yang curhat masalah gaji pada rakyatnya. Maka bayangkanlah, sosok seperti Bung Endy ini jika menjadi Presiden RI kelak, kelucuanan apa yang akan diperbuatnya.

Aku, Endy dan Nor bertemu di suatu titik di lobby Airport. Kami ingin naik kereta ke pusat kota Bangkok, namun bingung. Rupanya salah satu staf Thailand Tourism Authority Service (TTAS)membaca gerak-gerik kebingungan kami.

“What can I do for you?” Mas-mas setengah baya itu menyambut kami, sambil memberikan peta Bangkok pada saya.
“We would like to take Train. Where should we go?” salah satu dari kami bertanya.

Lalu, mas-mas itu menjelaskan pada kami. Setelah mempelajari peta Bangkok, maka kami putuskan untuk naik kereta ke Phayatai yang akan menempuh perjalanan 45 menit. Transaksi pembayaran kereta menggunakan mesin.

Kagok! Tentu. Semua serba otomatis. Tapi tak akan sulit jika membaca petunjuk penggunaan mesin pembayaran. Kita bisa melihat rute kereta dan memilih sesuka hati tempat tujuan dengan touch screen. Harga akan keluar sendirinya di layar. Harga tiket bergantung pada jauh perjalanan. Svarnabhumi-Phayatai berharga sekitar 25 Bath atau setara dengan Rp. 8.300,- (1 Bath=Rp. 330,-). Maka, tinggallah masukkan uang. Pilih yang koin atau kertas. Awalnya sempat bingung, apakah nanti kalau pakai uang kertas, kembaliannya akan keluar. Uji coba pertama dilakukan. Nor memasukkan uang kertas 100 Bath untuk membayar biaya kereta tiga orang dengan total 75 Bath. Lalu, Cring cring, uang kembalian sebesar 25 Bath keluar bersama tiket. Horeee!

Naik kereta serasa lupa dengan segala kelelahan. Adem, ayem, aman dan nyaman. Tidak padat, tidak pula desak-desakan. Saya senyum-senyum memperhatikan isi tas Bung Endy. Satu koper ukuran sedang, dan tas carrier ukuran 60 liter. Bandingkan dengan bawaan saya, satu ransel kecil dan tentengan alakadarnya. Sebenarnya saya dan Nor menitip pop mie sebagai stok logistic untuk berhemat. Tapi ga begini juga, sampe bawaannya banyak seperti orang mau camping setengah bulan.  Pasti ada penyelundupan. Benar-benar mencurigakan. Tinggal tunggu waktu penyidikan. Hanya di in-sert in-ves-ti-ga-si!

 Sesampai  di Phayatai kami mencari taksi. Memilih taksi yang menggunakan meter lebih direkomendasikan, untuk itu harus ditanyakan terlebih dahulu pada sopir apakah meter atau borongan. Jangan pernah langsung membuka pintu, melainkan mengetuk kaca terlebih dahulu jika ingin berkomunikasi pada sopir. Dengan waktu perjalanan tak lebih dari 45 menit dan ongkos sekitar 70 Bath, kami sudah sampai di Rajamangala University, Thewet.

Saya terkesan dengan penyambutan di Bangkok oleh interior bandara yang mengkolaborasikan unsur tradisional dan modern sehingga membuat pendaratan pertama di Bangkok amat berkesan bagi wisatawan.   Ada petugas TTAS yang akan selalu menyambut hangat setiap kedatangan. Lalu, transportasi menuju kota berupa kereta keren dan murah. Semua merupakan buah keberanian pemerintah Thailand untuk berinvestasi pada airportnya. Bangkok, melalui Suvarnabhumi, benar-benar menyambut siapapun yang tiba dengan siap dan sepenuh hati. Dari mulai turis backpacker, mahasiswa alai, hingga para eksekutif.

Kontras dengan kondisi terminal kedatanan di Bandara Soekarno Hatta. Begitu turun dari pesawat, tidak ada lukisan, maupun  interior menarik untuk berfoto bagi mahasiswa alai. Keluar dari imigrasi pun, tak akan pernah ada yang akan menyodori peta Jakarta apalagi tempat tourism service untuk bertanya-tanya. Yang ada adalah para penumpang akan disambut oleh keributan sesaat dari para penjaga Money Changer, agen travel dan sopir taksi yang menawarkan jasanya. Ribut layaknya pasar tanah abang. Andai saja pemerintah Indonesia sedikit lebih berani untuk merevitalisasi sektor pariwisata dengan usaha-usaha yang lebih nendang, mungkin-mungkin saja nasib akan berpihak padanya.

-----
More stories! Please visit http://journeyou.blogspot.com/

Senin, 07 Maret 2011

Catatan Kecil tentang Biotek

Untaian Al Fatihah beserta ayat lainnya yang baru saja dibacakan imam dalam shalat Magrib di Masjid Agung Al Azhar memberikan guyuran kesegaran pada jiwa saya. Malam pun telah datang hingga saya merindukan sesuatu. Sangat merindukan sesuatu itu. Apakah sesuatu itu. Sesuatu itu adalah TIDUR.

Iya dong. Saya bela-belain begadang beberapa malam untuk menyelesaikan beberapa tugas. Bukan tugas kuliah apalagi skripsi melainkan tugas dari bos dan proyek-proyek keren hingga Mei nanti. Semalam aja nih, saya baru shut down notebook pukul 1 dini hari. Baru bisa tidur setengah jam setelahnya. Bangun pagi-pagi buta untuk menunaikan shalat subuh berjamaah.  Tidur setelah subuh? Jangan harap! Sebab saya harus mengutak-ngatik kerjaan Environmental Framework Tools-nya British Council.  Sebelum jam 9 harus buru-buru ketemu bos buat lapor dan menerima tugas lainnya. Seharian, lumayan banyak hal yang saya lakukan. Mampir ke kedutaan Turkey, dengerin ceramah dari pak Dubes Iran untuk Indonesia, ngurus-ngurus rekening organisasi ke Bank, kirim email ke calon sponsor, facebookan, dll!

Niat saya memang cepat-cepat pulang tapi mampir dulu ketemu adik kelas untuk membicarakan tentang ancang-ancang urusan pelesir ke Negara berikutnya yang terkenal pelit dan rempong dalam urusan visa.

“ke Tendu aja kak” sms dari junior saya.

Dalam hitungan detik saya langsung meluncur ke Tenda Biru. Kalau malam-malam begini tenda biru ini memang sangat aneh. Meski remang-remang, tapi masih aja rame sama mahasiswa yang makan, ngobrol, cekakak-cekikik ga jelas dan pacarran (aih! Sumpeh  lo? Beneran, saya pernah mergokin ada yang berduaan. Kalian tau sendiri lah modusnya apa berduaan malem-malem, gelap-gelapan begini. Ya kan, ya kan. Beruntunglah mereka saat itu karena saya bukan anggota komplotan FPI. ckckck).

Yang lebih aneh lagi adalah pihak pengelola kampus Universitas Al Azhar Indonesia. Pelitnya bukan main. Ga ada kek inisiatif buat menambah lampu tiang buat menerangi aktivitas mahasiswa malem-malem di sini. Jadi kan ketahuan apa yang mereka lakukan dibalik tenda remang-remang ini. Terlepas dari itu, penerangan amat dibutuhakan karena tak jarang mahasiswa berdiskusi tenang program organisasi di sini.

“Naaaah, ini dia buronan yang dicari” suara kompak menyambut kedatangan saya di Tendu.

Walah-walah ternyata udah pada rame. Lagi arisan ya Pak? Kocokannya udah selesai? Siapa , siapa yang narik minggu ini. Hehehe!

Adek-adek saya ini tampaknya sedang diskusi. Adek-adek? Koq saya serasa menuakan diri sendiri. Mungkin lebih baik sebut “rekan-rekan”. Lagi pula di situ ada rekan satu kelas saya. Sebenarnya saya udah berfikir mau kabur aja karena ngantuk dan lapar bukan main. Tapi koq, ada sesuatu yang menarik hati di sini. Apakah itu? Keripik singkong balado. Akhirnya demi keripik singkong balado, saya pun bertahan.

Baru lima menit bergabung tiba-tiba oooh rasa kantuk itu semakin membabi buta saja. Tiba-tiba merasa ga ngerti deh apa itu kurikulum, twinning program, akreditasi program studi,  brosur promosi yang jelek, staf sekre yang jutek, lalala, apa lagi…pokoknya tetek bengek yang lain lah. Saya merasa jadi orang terbodoh dan tercuek di program studi. Sekaligus saya merasa cemburu sama rekan-rekan ini yang begitu care dengan nasib program studi (Prodi) dan adik-adiknya ke depan.  Belum jadi alumni saja saya udah kayak gini ya, apalagi kalau udah.

Cerita punya cerita ternyata mereka merasa resah dan gelisah. Apa sebab? Kalau dari yang saya tangkap sih, alasan mendasarnya adalah naluri mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi untuk masa depan Prodi yang lebih baik, dan kurangnya komunikasi antara yang tua dan yang muda. Lah, yang tua itu siapa yang muda itu siapa ya? Pikir aja sendiri!

Poin pertama adalah tentang keabsahan informasi yang diberikan di brosur mengenai twinning program (TW) dan program studi Biologi (Bioteknologi). Katanya sih TW itu belom ada MoUnya dengan ITB. Terusnya gara-gara TW kurikulum kita mesti disetarakan dengan prodi Biologi ITB. Sepertinya lumayan banyak rekan-rekan ini yang ga rela mata kuliah Bioteknologinya di revisi gitu aja. Saya juga ga rela dong. Secara, pada berbondong-bondong masuk UAI kan karena Bioteknya bow, bukan Biologinya. Kalaupun memang sudah dirubah, maka harus ada singkronisasi dengan informasi yang disampaikan di website dan brosur tentang kurikulum, sehingga menghindari kesan penipuan berkedok promosi. Kenapa sih harus TW ke ITB. Prodi saya kan sudah cukup keren tanpa ada TW. Sepakat?

Terus,  tau ga sih kalau ada rekan satu Prodi kita yang masih mempertanyakan tentang: kita ini prodi Bilologi atau Bioteknologi sih? Ini mah harusnya ditanyain sebelum daftar ke UAI, brow! Di Dirjen Dikti sana kita ini terdaftar sebagai program studi Biologi dengan konsentrasi Bioteknologi. Di Universitas lainnya juga pada kayak gitu. Program studi Biologi mereka punya konsentrasi di Mikrobiologi, Tumbuhan, Hewan, dll. Nah, kalo mw bikin program studi baru bernama Bioteknologi, bakalan susah menembus alur birokrasi ribet ala Indonesia ini.  Selain ribetnya mekanisme pengajuan prodi baru, Bioteknologi di Indonesia untuk level S1 itu masih belum feasible. Bukan hanya sebatas fasilitas loh, tapi juga otak mahasiswanya terbatas. Khususnya saya sendiri yang rada2 lemot ini. Jadilah UAI bikin prodi Biologi yang disesuaikan buat kemampuan mahasiswanya dan tetap menonjolkan salah satu tantangan sains dan teknologi terbesar di abad ini yaitu BIOTEKNOLOGI.

Yang tak kalah penting adalah persoalan brosur promosi yang amat tak menarik hati. Konon katanya proyek itu memang sudah dari dulu dipegang oleh bagian promosi dengan hanya sedikit konsolidasi dengan bagian Prodi. Penggarapannya seperti foto-foto, disain diserahkan ke teman-teman FOCUZ (seingat saya yah). Jadilah kurang memenuhi sense Biologinya. Saya juga sependapat. Satu-satunya hal yang menarik hati saya untuk membaca brosur itu adalah karena di situ ada foto saya dan testimoni sebagai mahasiswa. Ketahuan narcisnya.

Selanjutnya, ada salah satu peserta arisan yang ingin menyapa: Apa kabar KMPS Biologi UAI? Wah ini ga berani komen. Kagak ngarti apa-apa saya. Mungkin nanti saya tulis note terpisah setelah ngobrol-nobrol sama ketuanya.

Terakhir adalah mengenai solidaritas alumni. Katanya panitia pelaksana sangat mengharapkan alumni untuk berpartisipasi dalam acara nanti. Tapi koq sampe detik ini yang konfirmasi datang masih bisa dihitung dengan jari. Kasian adek-adeknya udah capek-capek bikin kegiatan tapi kalo yang datang sepi. Jangan sampai deh. Gara-gara ini saya pun dapat tugas dari rekan-rekan ini untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya teman-teman 2006 ke acara yang akan diselenggarakan pada 11 Maret 2011 di Auditorum Afirin Panigoro itu. Saya memang harus berjuang buat membantu rekan-rekan ini menyambungkan silaturahim keluarga besar Biologi (Bioteknologi) yang sudah berumur satu dekade ini. Hitung-hitung saya juga udah kangen berad sama sobat-sobat seperjuangan satu kelas. Jadi buat teman-teman 2006 kita dateng yuuuuk. Dan jangan lupa bayar iurannya Rp. 30.000,- ke panitia (www.numpangiklan.org) .

 Lantas, gimana dong cara menyampaikan masukan ini?
“Kita harus satu suara dulu. Satukan persepsi kalau ini bukan karena memojokkan satu pihak tapi untuk kebaikan semua pihak” ucap salah satu peserta arisan.

“Nanti yang ngomong ga usah banyak-banyak cukup satu aja trus palingan diback up sama satu orang lagi” cetus peserta lainnya.

“Tapi pastikan dulu jadwal sharing nanti di Acara Temu Alumni bakalan dihadiri sama yang tua. Kalao mereka udah pada pulang, kan percuma” seseorang lagi menambahkan.

Yo wis! Diskusi pokok malam itu selesai.  Semua sudah satu persepsi. Baiklah kita tunggu saja tanggal mainnya. Semoga saya dan rekan-rekan bisa melakukan yang terbaik di temu alumni nanti.

Saya pulang dengan perut meronta-ronta. Maag ini semakin akut saja. Di jalan saya sambil berfikir tentang kemungkinan-kemunginan saya selanjutnya untuk membuat prestasi membawa nama baik almamater di tingkat internasional. Saya memang udah ga mau banyak cing cong jadi mahasiswa, sejak masuk semester 7. Capek dan merasa sudah bukan jamannya lagi. Ga keren banget kalau saya protes ini itu tapi IPK saya jelek atau prestasi saya ga ada yang bisa dibanggakan buat almamater.  Kan mayun. Mending saya jadi mahasiswa yang lebih mengedepankan prestasi dibanding protes. Eits, saya bilang “lebih mengedepankan”, bukan “hanya mengedepankan”.

Soal urusan kurikulum dan system kan ada yang lebih pintar, yaitu yang tua-tua dengan gelar Master dan Doktor bahkan Profesor. Dalam hati, saya sepenuhnya percaya mereka pun sama seperti saya dan rekan-rekan saya yang menginginkan yang terbaik untuk prodi saya yang keren ini. Ga mungkin deh mereka mau mencalakakan kita dan prodi tercinta. Kalau salah-salah dikit, yaw wajar lah mungkin khilaf atau overload. Namanya juga manusia. Tinggal kasih masukan aja. Bagus-bagus kita bantu dengan tindakan konkrit. Saya yakin ACTIONS SPEAK LOUDER THAN WORDS.

Koq tiba-tiba saya jadi keingetan sesuatu. Apa itu? Eing eing…. Sidang skripsi apa kabar? Udah ga ngerti lagi. Ga usah sidang juga ga apah dah. Hahah.

---------
More stories! Please visit: http://journeyou.blogspot.com/