Entah ada atau tidak dalam Al Quran dan Al Hadits, tapi setidaknya empirisku telah membuktikan kata-kata powerful Andrea Hirata dalam Maryamah Kaprov, bahwa
NASIB akan berpihak pada para PEMBERANI.
Keberanian itu pun telah menjadi salah satu alasan sehingga saya berkelana lewat udara melalui hampir seperempat belahan dunia, yakni Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah dan Eropa Timur. Keberanian itu juga mengantarkanku pada banyak cerita menakjubkan seperti cerita cinta pertama di Rusia. Maka pada perjalanan kali ini pun saya berharap akan menemukan cerita cinta lainnya di negeri Gajah dan Singa (Meski tak cerita cinta juga tak apa, denk).
Lama perjalanan Singapura –Bangkok sama dengan Jakarta-Singapur yang menempuh waktu lebih kurang 2 jam. Di pesawat menuju Bangkok saya berkenalan dengan seorang esmud (eksekutif muda) berkewarganegaraan Singapura dan kerja di Bangkok. Dia bercerita bahwa di Singapura begitu banyak tenaga kerja ahli dari luar negeri. Tak sedikit juga orang-orang Singapura yang memiliki mobilitas tinggi di ASEAN untuk alasan pekerjaan. CAFTA membuat kerja di luar negeri menjadi hal yang tak sulit bagi penduduk Asia Tenggara.
CAFTA sebenarnya adalah peluang besar bagi para SDM unggulan dari negeri kembang kempis seperti Indonesia. Orang Indonesia memiliki peluang untuk bekerja di Negara keren seperti Singapura. Namun, CAFTA juga bisa jadi ancaman, karena banyak SDM lokal yang tak siap bersaing secara kompetensi. Lahan-lahan pekerjaan elit dalam negeri bisa-bisa disabet dengan mudah oleh orang-orang dari negeri tetangga.
Kalau kebanyakan teman-teman satu daerahku memiliki passion pulang kampong untuk berbondong-bondong daftar tes CPNS, barangkali saya agak sedikit berbeda. Hanya sedikit bereksperimen dengan “keberanian” saya berhayal untuk menyicipi pengalaman kerja di salah satu negara tetangga. Jika kau seorang pemberani tak akan mungkin beranggapan kalau ini adalah hal yang berlebihan apalagi alay. Ini bukan soal idealisme yang alay, tapi soal occasion. Peluang CAFTA itu telah ada di depan mata. Sayang kalau hanya orang di negeri tetangga yang kebagian manfaatnya. Sadar atau tidak semua masyarakat ASEAN memiliki hak yang sama akan kesempatan itu, termasuk orang Indonesia yaitu saya dan kau.
Untuk ketiga kalinya saya menginjakkan kaki di Suvarnabhumi Airport. Kesan pertama Amazing Thailand, selogan periwisata negeri gajah ini, langsung tampak setibanya di Terminal kedatangan. Sepanjang koridor menuju imigrasi terdapat lukisan-lukisan budaya Thailand. Ada pula miniatur taman yang lengkap dengan aksesorisnya seperti payung, bunga-bunga dan benda-benda tradisional. Interior yang lekat dengan kesan budaya dan disain arsitektur green building akan mencuri hati siapa saja yang tiba di sana. Kesan seperti ini, sungguh belum bisa ditemukan di Bandara Soekarno-Hatta.
Aksi pertama yang tak pernah terlewat bagi mafia conference yang berpergian ke luar negeri adalah, mengambil gambar di setiap tempat dan peristiwa penting yang mereka singgahi (yang ga penting kadang-jadang juga di ambil koq). Jadi sudah bisa ditebak Penampakan Alai No.1 yang saya dan Nor lakukan setiba di Airport. Tak peduli bahwa orang-orang memperhatikan kami sambil melambaikan senyuman yang merepresentasikan dua kata pada kami: dasar kampungan. Ckckck!
Aksi kedua adalah mencari tap air minum. Budget yang pas-pasan membuat setiap pengeluaran dipertimbangkan baik-baik. Membeli air minum di pesawat tidak lebih baik daripada membiarkan kerongkongan kering selama beberapa jam. Kami mengeluarkan botol kosong yang sengaja disiapkan jauh-jauh dari Indonesia dan mengisinya penuh-penuh untuk menghilanngkan rasa haus sekaligus persiapan di jalan menuju venue.
Aksi ketiga adalah menuju toilet. Pagi itu kami akan langsung menuju Rajmanggala University. Hanya cukup dengan cuci muka, gosok gigi dan sisiran, saya yakin tak kan ada orang yang bertanya pada kami: sudah mandi, belom?
*Wakakakak.
“Bib…bib…bib..” sms masuk.
“Win, aku di Musholla ya. Kamu samperin aku” sms dari anak cerdas bangsa yang akan saya temui berikutnya. Tak hanya cerdas tapi juga berani dan nekad. Lebih tepatnya sih dia bukan anak cerdas tapi bocah nekad.
Aku dan Nor bergegas menuju imigrasi dan keluar. Tak seperti biasanya, kali ini kami tak perlu menuju tempat pengambilan bagasi. Prinsip berhemat itu, membuat kami memutuskan beperjalanan tanpa bagasi, cukup memanfaatkan 10 kg batas maksimum di kabin. Dengan begini, kami berhemat sekitar USD 15/orang. Lumayan kan buat beli souvenir oleh-oleh.
Saya temui Endy Prahyuono di Praying Room. Yang paling saya sukai, Bung Endy punya cara (lagi-lagi) berani dan unik untuk menginterpretasikan nasionalismenya. Tak terkecuali kali ini. Dia ke Bangkok mengenakan Jaket Timnas Garuda. Oh, Garuda di Dadaku banget. Rambut gondrong, kumis tipis dan mata sipitnya itu, hanya perlu sedikit sentuhan whitening pada kulit, tambahan pedang dan seragam perang, maka dia bisa langsung disulap menjadi pasukan balai tentara Kubilai Khan. Satu paket nasionalisme berani dan unik ala Bung Endy ini telah saya identifikasi sebagai Penampakan Alay No. 2.
Bung Endy, mahasiswa ITS ini bercita-cita menjadi Presiden RI. Hal itu ku ketahui ketika kami mengikuti Summer School of International Youth Forum Seliger 2010, Youth Camp terbesar di dunia, yang juga diselenggarakan di Negeri terbesar di dunia. Dalam kegiatan tahunan Pemerintah Federasi Rusia tersebut, kami mendapat fasilitas dari Ministry of Foreign Affairs-nya berupa tuition fee, akomodasi, transportasi lokal dan visa secara cuma-cuma. Sedangkan Dirjen Dikti menyediakan dana untuk Airfare. Setelah acara selesai kami pun masih extend di Moskwa selama 2-3 hari dengan fasilitas penginapan dan makan gratis di Flat KBRI. Maknyus kan.
O ya, di tambah lagi fasilitas dadakan berupa free tour guide mahasiswa asal Indonesia bernama Burhan yang menghantar kami ke salah satu destinasi paling popular di dunia, Red Square Moscow (Kremlin, St. Vatsil,etc), beserta gedung pemerintahan dan beberapa bangunan bersejarah dengan arsitektur Eropa kuno dan modern. Sungguh, Seliger dan Moskwa adalah visualisasi dunia mimpi masa kecil yang jadi kenyataan.
Menindaklanjuti cita-cita Bung Endy, maka para delegasi indonesia di Seliger membuat kabinet kecil-kecilan. Bung Endy resmi dinobatkan sebagai Presiden RI dan dipilih menteri-menteri lainya yang orangnya mereka-mereka juga. Saya kebagian jatah sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ga banget yak.
Negeri ini memiliki presiden-presiden dengan catatan sejarah lucu. Ada yang diruntuhkan oleh mahasiswa, ada yang memakai celana pendek di istana negara, dan ada juga yang curhat masalah gaji pada rakyatnya. Maka bayangkanlah, sosok seperti Bung Endy ini jika menjadi Presiden RI kelak, kelucuanan apa yang akan diperbuatnya.
Aku, Endy dan Nor bertemu di suatu titik di lobby Airport. Kami ingin naik kereta ke pusat kota Bangkok, namun bingung. Rupanya salah satu staf Thailand Tourism Authority Service (TTAS)membaca gerak-gerik kebingungan kami.
“What can I do for you?” Mas-mas setengah baya itu menyambut kami, sambil memberikan peta Bangkok pada saya.
“We would like to take Train. Where should we go?” salah satu dari kami bertanya.
Lalu, mas-mas itu menjelaskan pada kami. Setelah mempelajari peta Bangkok, maka kami putuskan untuk naik kereta ke Phayatai yang akan menempuh perjalanan 45 menit. Transaksi pembayaran kereta menggunakan mesin.
Kagok! Tentu. Semua serba otomatis. Tapi tak akan sulit jika membaca petunjuk penggunaan mesin pembayaran. Kita bisa melihat rute kereta dan memilih sesuka hati tempat tujuan dengan touch screen. Harga akan keluar sendirinya di layar. Harga tiket bergantung pada jauh perjalanan. Svarnabhumi-Phayatai berharga sekitar 25 Bath atau setara dengan Rp. 8.300,- (1 Bath=Rp. 330,-). Maka, tinggallah masukkan uang. Pilih yang koin atau kertas. Awalnya sempat bingung, apakah nanti kalau pakai uang kertas, kembaliannya akan keluar. Uji coba pertama dilakukan. Nor memasukkan uang kertas 100 Bath untuk membayar biaya kereta tiga orang dengan total 75 Bath. Lalu, Cring cring, uang kembalian sebesar 25 Bath keluar bersama tiket. Horeee!
Naik kereta serasa lupa dengan segala kelelahan. Adem, ayem, aman dan nyaman. Tidak padat, tidak pula desak-desakan. Saya senyum-senyum memperhatikan isi tas Bung Endy. Satu koper ukuran sedang, dan tas carrier ukuran 60 liter. Bandingkan dengan bawaan saya, satu ransel kecil dan tentengan alakadarnya. Sebenarnya saya dan Nor menitip pop mie sebagai stok logistic untuk berhemat. Tapi ga begini juga, sampe bawaannya banyak seperti orang mau camping setengah bulan. Pasti ada penyelundupan. Benar-benar mencurigakan. Tinggal tunggu waktu penyidikan. Hanya di in-sert in-ves-ti-ga-si!
Sesampai di Phayatai kami mencari taksi. Memilih taksi yang menggunakan meter lebih direkomendasikan, untuk itu harus ditanyakan terlebih dahulu pada sopir apakah meter atau borongan. Jangan pernah langsung membuka pintu, melainkan mengetuk kaca terlebih dahulu jika ingin berkomunikasi pada sopir. Dengan waktu perjalanan tak lebih dari 45 menit dan ongkos sekitar 70 Bath, kami sudah sampai di Rajamangala University, Thewet.
Saya terkesan dengan penyambutan di Bangkok oleh interior bandara yang mengkolaborasikan unsur tradisional dan modern sehingga membuat pendaratan pertama di Bangkok amat berkesan bagi wisatawan. Ada petugas TTAS yang akan selalu menyambut hangat setiap kedatangan. Lalu, transportasi menuju kota berupa kereta keren dan murah. Semua merupakan buah keberanian pemerintah Thailand untuk berinvestasi pada airportnya. Bangkok, melalui Suvarnabhumi, benar-benar menyambut siapapun yang tiba dengan siap dan sepenuh hati. Dari mulai turis backpacker, mahasiswa alai, hingga para eksekutif.
Kontras dengan kondisi terminal kedatanan di Bandara Soekarno Hatta. Begitu turun dari pesawat, tidak ada lukisan, maupun interior menarik untuk berfoto bagi mahasiswa alai. Keluar dari imigrasi pun, tak akan pernah ada yang akan menyodori peta Jakarta apalagi tempat tourism service untuk bertanya-tanya. Yang ada adalah para penumpang akan disambut oleh keributan sesaat dari para penjaga Money Changer, agen travel dan sopir taksi yang menawarkan jasanya. Ribut layaknya pasar tanah abang. Andai saja pemerintah Indonesia sedikit lebih berani untuk merevitalisasi sektor pariwisata dengan usaha-usaha yang lebih nendang, mungkin-mungkin saja nasib akan berpihak padanya.
-----
More stories! Please visit http://journeyou.blogspot.com/
NASIB akan berpihak pada para PEMBERANI.
Keberanian itu pun telah menjadi salah satu alasan sehingga saya berkelana lewat udara melalui hampir seperempat belahan dunia, yakni Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah dan Eropa Timur. Keberanian itu juga mengantarkanku pada banyak cerita menakjubkan seperti cerita cinta pertama di Rusia. Maka pada perjalanan kali ini pun saya berharap akan menemukan cerita cinta lainnya di negeri Gajah dan Singa (Meski tak cerita cinta juga tak apa, denk).
Lama perjalanan Singapura –Bangkok sama dengan Jakarta-Singapur yang menempuh waktu lebih kurang 2 jam. Di pesawat menuju Bangkok saya berkenalan dengan seorang esmud (eksekutif muda) berkewarganegaraan Singapura dan kerja di Bangkok. Dia bercerita bahwa di Singapura begitu banyak tenaga kerja ahli dari luar negeri. Tak sedikit juga orang-orang Singapura yang memiliki mobilitas tinggi di ASEAN untuk alasan pekerjaan. CAFTA membuat kerja di luar negeri menjadi hal yang tak sulit bagi penduduk Asia Tenggara.
CAFTA sebenarnya adalah peluang besar bagi para SDM unggulan dari negeri kembang kempis seperti Indonesia. Orang Indonesia memiliki peluang untuk bekerja di Negara keren seperti Singapura. Namun, CAFTA juga bisa jadi ancaman, karena banyak SDM lokal yang tak siap bersaing secara kompetensi. Lahan-lahan pekerjaan elit dalam negeri bisa-bisa disabet dengan mudah oleh orang-orang dari negeri tetangga.
Kalau kebanyakan teman-teman satu daerahku memiliki passion pulang kampong untuk berbondong-bondong daftar tes CPNS, barangkali saya agak sedikit berbeda. Hanya sedikit bereksperimen dengan “keberanian” saya berhayal untuk menyicipi pengalaman kerja di salah satu negara tetangga. Jika kau seorang pemberani tak akan mungkin beranggapan kalau ini adalah hal yang berlebihan apalagi alay. Ini bukan soal idealisme yang alay, tapi soal occasion. Peluang CAFTA itu telah ada di depan mata. Sayang kalau hanya orang di negeri tetangga yang kebagian manfaatnya. Sadar atau tidak semua masyarakat ASEAN memiliki hak yang sama akan kesempatan itu, termasuk orang Indonesia yaitu saya dan kau.
Untuk ketiga kalinya saya menginjakkan kaki di Suvarnabhumi Airport. Kesan pertama Amazing Thailand, selogan periwisata negeri gajah ini, langsung tampak setibanya di Terminal kedatangan. Sepanjang koridor menuju imigrasi terdapat lukisan-lukisan budaya Thailand. Ada pula miniatur taman yang lengkap dengan aksesorisnya seperti payung, bunga-bunga dan benda-benda tradisional. Interior yang lekat dengan kesan budaya dan disain arsitektur green building akan mencuri hati siapa saja yang tiba di sana. Kesan seperti ini, sungguh belum bisa ditemukan di Bandara Soekarno-Hatta.
Aksi pertama yang tak pernah terlewat bagi mafia conference yang berpergian ke luar negeri adalah, mengambil gambar di setiap tempat dan peristiwa penting yang mereka singgahi (yang ga penting kadang-jadang juga di ambil koq). Jadi sudah bisa ditebak Penampakan Alai No.1 yang saya dan Nor lakukan setiba di Airport. Tak peduli bahwa orang-orang memperhatikan kami sambil melambaikan senyuman yang merepresentasikan dua kata pada kami: dasar kampungan. Ckckck!
Aksi kedua adalah mencari tap air minum. Budget yang pas-pasan membuat setiap pengeluaran dipertimbangkan baik-baik. Membeli air minum di pesawat tidak lebih baik daripada membiarkan kerongkongan kering selama beberapa jam. Kami mengeluarkan botol kosong yang sengaja disiapkan jauh-jauh dari Indonesia dan mengisinya penuh-penuh untuk menghilanngkan rasa haus sekaligus persiapan di jalan menuju venue.
Aksi ketiga adalah menuju toilet. Pagi itu kami akan langsung menuju Rajmanggala University. Hanya cukup dengan cuci muka, gosok gigi dan sisiran, saya yakin tak kan ada orang yang bertanya pada kami: sudah mandi, belom?
*Wakakakak.
“Bib…bib…bib..” sms masuk.
“Win, aku di Musholla ya. Kamu samperin aku” sms dari anak cerdas bangsa yang akan saya temui berikutnya. Tak hanya cerdas tapi juga berani dan nekad. Lebih tepatnya sih dia bukan anak cerdas tapi bocah nekad.
Aku dan Nor bergegas menuju imigrasi dan keluar. Tak seperti biasanya, kali ini kami tak perlu menuju tempat pengambilan bagasi. Prinsip berhemat itu, membuat kami memutuskan beperjalanan tanpa bagasi, cukup memanfaatkan 10 kg batas maksimum di kabin. Dengan begini, kami berhemat sekitar USD 15/orang. Lumayan kan buat beli souvenir oleh-oleh.
Saya temui Endy Prahyuono di Praying Room. Yang paling saya sukai, Bung Endy punya cara (lagi-lagi) berani dan unik untuk menginterpretasikan nasionalismenya. Tak terkecuali kali ini. Dia ke Bangkok mengenakan Jaket Timnas Garuda. Oh, Garuda di Dadaku banget. Rambut gondrong, kumis tipis dan mata sipitnya itu, hanya perlu sedikit sentuhan whitening pada kulit, tambahan pedang dan seragam perang, maka dia bisa langsung disulap menjadi pasukan balai tentara Kubilai Khan. Satu paket nasionalisme berani dan unik ala Bung Endy ini telah saya identifikasi sebagai Penampakan Alay No. 2.
Bung Endy, mahasiswa ITS ini bercita-cita menjadi Presiden RI. Hal itu ku ketahui ketika kami mengikuti Summer School of International Youth Forum Seliger 2010, Youth Camp terbesar di dunia, yang juga diselenggarakan di Negeri terbesar di dunia. Dalam kegiatan tahunan Pemerintah Federasi Rusia tersebut, kami mendapat fasilitas dari Ministry of Foreign Affairs-nya berupa tuition fee, akomodasi, transportasi lokal dan visa secara cuma-cuma. Sedangkan Dirjen Dikti menyediakan dana untuk Airfare. Setelah acara selesai kami pun masih extend di Moskwa selama 2-3 hari dengan fasilitas penginapan dan makan gratis di Flat KBRI. Maknyus kan.
O ya, di tambah lagi fasilitas dadakan berupa free tour guide mahasiswa asal Indonesia bernama Burhan yang menghantar kami ke salah satu destinasi paling popular di dunia, Red Square Moscow (Kremlin, St. Vatsil,etc), beserta gedung pemerintahan dan beberapa bangunan bersejarah dengan arsitektur Eropa kuno dan modern. Sungguh, Seliger dan Moskwa adalah visualisasi dunia mimpi masa kecil yang jadi kenyataan.
Menindaklanjuti cita-cita Bung Endy, maka para delegasi indonesia di Seliger membuat kabinet kecil-kecilan. Bung Endy resmi dinobatkan sebagai Presiden RI dan dipilih menteri-menteri lainya yang orangnya mereka-mereka juga. Saya kebagian jatah sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ga banget yak.
Negeri ini memiliki presiden-presiden dengan catatan sejarah lucu. Ada yang diruntuhkan oleh mahasiswa, ada yang memakai celana pendek di istana negara, dan ada juga yang curhat masalah gaji pada rakyatnya. Maka bayangkanlah, sosok seperti Bung Endy ini jika menjadi Presiden RI kelak, kelucuanan apa yang akan diperbuatnya.
Aku, Endy dan Nor bertemu di suatu titik di lobby Airport. Kami ingin naik kereta ke pusat kota Bangkok, namun bingung. Rupanya salah satu staf Thailand Tourism Authority Service (TTAS)membaca gerak-gerik kebingungan kami.
“What can I do for you?” Mas-mas setengah baya itu menyambut kami, sambil memberikan peta Bangkok pada saya.
“We would like to take Train. Where should we go?” salah satu dari kami bertanya.
Lalu, mas-mas itu menjelaskan pada kami. Setelah mempelajari peta Bangkok, maka kami putuskan untuk naik kereta ke Phayatai yang akan menempuh perjalanan 45 menit. Transaksi pembayaran kereta menggunakan mesin.
Kagok! Tentu. Semua serba otomatis. Tapi tak akan sulit jika membaca petunjuk penggunaan mesin pembayaran. Kita bisa melihat rute kereta dan memilih sesuka hati tempat tujuan dengan touch screen. Harga akan keluar sendirinya di layar. Harga tiket bergantung pada jauh perjalanan. Svarnabhumi-Phayatai berharga sekitar 25 Bath atau setara dengan Rp. 8.300,- (1 Bath=Rp. 330,-). Maka, tinggallah masukkan uang. Pilih yang koin atau kertas. Awalnya sempat bingung, apakah nanti kalau pakai uang kertas, kembaliannya akan keluar. Uji coba pertama dilakukan. Nor memasukkan uang kertas 100 Bath untuk membayar biaya kereta tiga orang dengan total 75 Bath. Lalu, Cring cring, uang kembalian sebesar 25 Bath keluar bersama tiket. Horeee!
Naik kereta serasa lupa dengan segala kelelahan. Adem, ayem, aman dan nyaman. Tidak padat, tidak pula desak-desakan. Saya senyum-senyum memperhatikan isi tas Bung Endy. Satu koper ukuran sedang, dan tas carrier ukuran 60 liter. Bandingkan dengan bawaan saya, satu ransel kecil dan tentengan alakadarnya. Sebenarnya saya dan Nor menitip pop mie sebagai stok logistic untuk berhemat. Tapi ga begini juga, sampe bawaannya banyak seperti orang mau camping setengah bulan. Pasti ada penyelundupan. Benar-benar mencurigakan. Tinggal tunggu waktu penyidikan. Hanya di in-sert in-ves-ti-ga-si!
Sesampai di Phayatai kami mencari taksi. Memilih taksi yang menggunakan meter lebih direkomendasikan, untuk itu harus ditanyakan terlebih dahulu pada sopir apakah meter atau borongan. Jangan pernah langsung membuka pintu, melainkan mengetuk kaca terlebih dahulu jika ingin berkomunikasi pada sopir. Dengan waktu perjalanan tak lebih dari 45 menit dan ongkos sekitar 70 Bath, kami sudah sampai di Rajamangala University, Thewet.
Saya terkesan dengan penyambutan di Bangkok oleh interior bandara yang mengkolaborasikan unsur tradisional dan modern sehingga membuat pendaratan pertama di Bangkok amat berkesan bagi wisatawan. Ada petugas TTAS yang akan selalu menyambut hangat setiap kedatangan. Lalu, transportasi menuju kota berupa kereta keren dan murah. Semua merupakan buah keberanian pemerintah Thailand untuk berinvestasi pada airportnya. Bangkok, melalui Suvarnabhumi, benar-benar menyambut siapapun yang tiba dengan siap dan sepenuh hati. Dari mulai turis backpacker, mahasiswa alai, hingga para eksekutif.
Kontras dengan kondisi terminal kedatanan di Bandara Soekarno Hatta. Begitu turun dari pesawat, tidak ada lukisan, maupun interior menarik untuk berfoto bagi mahasiswa alai. Keluar dari imigrasi pun, tak akan pernah ada yang akan menyodori peta Jakarta apalagi tempat tourism service untuk bertanya-tanya. Yang ada adalah para penumpang akan disambut oleh keributan sesaat dari para penjaga Money Changer, agen travel dan sopir taksi yang menawarkan jasanya. Ribut layaknya pasar tanah abang. Andai saja pemerintah Indonesia sedikit lebih berani untuk merevitalisasi sektor pariwisata dengan usaha-usaha yang lebih nendang, mungkin-mungkin saja nasib akan berpihak padanya.
-----
More stories! Please visit http://journeyou.blogspot.com/
cerita lo kok rada loncat-loncat kayak kanguru ya ka, lo cerita ini pas lagi di ausiie ya, hahhaha
BalasHapusdari CAFTA-thai-rusia-thai lagi... tapo boleh lah bikin ngiri juga, gak nyangka di thai keretanya keren banget yak, coba bandingin sama kereta indonesia, e-ticketnya aja tiangnya baru dibuat udah gitu ada aja lagi yang comment "duh bikin sempit aja neh alat e-ticketingnya" yaa jadi harap maklum dah ka kalo airpot cengkareng gak kalah ruamee sama tanah abang hahahaha
Mas, Saya Dody
BalasHapusAlhamdulilah, saya terpilih untuk ikut Seliger 2012
Tapi agak galau juga karena batas konfirmasi 10 juni sedangkan pengumuman baru 25 Mei.
Kira-kira untuk apply sponsorship ke DIKTI mas dulu ngangkat apa?maksudnya apa yang mau dibawa ke Seliger?atau apakah sebagai participant saja?
Kemudian kalau tidak salah proses di DIKTI agak lama sekitar 1 bulan. Kalau mas dulu bagaimana?
Thanks